Senin, 13 Mei 2013

ASKEP KETUBAN PECAH DINI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Ketuban pecah dini merupakan suatu masalah yang harus mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan. Penanganan segera pada ketuban pecah dini yaitu dengan pemberian antibiotik dan segera lakukan induksi persalinan jika umur kehamilan sudah aterm tapi jika belum aterm (prematur) pertahankan. Asuhan ini dilaksanakan dengan tujuan agar janin dan ibu bisa menjalani proses persalinan dengan normal dan tanpa adanya komplikasi. Pada proses persalinan ini membutuhkan asuhan yang optimal dan dukungan dari semua pihak khususnya keluarga dan penolong yang terampil agar proses persalinan berjalan dengan lancar, bayi dan ibu sehat sehingga dapat menurunkan adanya morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi.

1.2  Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada GI P1001 Ab000 UK 36-37 minggu Aterm, tunggal, hidup, intrauterin dengan ketuban pecah dini diharapkan mahasiswa dapat menerapkan asuhan keperawatan secara komprehensif
1.2.2 Tujuan Khusus
Setelah melakukan asuhan keperawatan diharapkan mahasiswa mampu :
a. Mengetahui pengertian Ketuban Pecah Dini
b. Mengetahui pengkajian pada ASKEP Ketuban Pecah Dini
c. Mengetahui Diagnosa pada ASKEP Ketuban Pecah Dini
d. Mengetahui Intervensi pada ASKEP Ketuban Pecah Dini




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi ketuban pecah dini (KPD)
Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah spontan yang terjadi pada sembarang usia kehamilan sebelum persalinan di mulai (William,2001)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan di tunggu satu jam belum di mulainya tanda persalinan (manuaba,2001)
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu sebelum proses persalinan berlangsung dan dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm. (saifudin,2002).

2.2 Etiologi
Beberapa kondisi dibubungkan dengan ketuban pecah dini tetapi penyebab pastinya belum jelas, kemungkinan penyebab yang berhubungan dengan ketuban pecah dini adalah:
1. Infeksi vagina atau serviks seperti; gonorrhea, streptococcus group B, dan gardnerella vaginalis.
2. Chorioamnionitis
3. Kelainan servik atau alat genital, seperti servik yang pendek ( kecil dari 25mm)
4. Keadaan fetus yang abnormal
5. Peningkatan tekanan intrauteri ; kehamilan kembar, polyhidromion
6. Selaput amnion yang mempunyai struktur yang lemah atau selaput terlalu tipis
7.Trauma seperti amniosintesis, pemeriksaan pelvik, dan hubungan seksual
8. Hipermortalitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah.
Faktor lain penyebabnya adalah :
a. Faktor golongan darah
            Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit ketuban.
b. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.
c. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
d. Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat

2.3 Patofisiologi
Penyebab dari ketuban pecah dini belum diketahui. Tetapi kemungkinan penyebab yaitu infeksi pada vagina seperti oleh gonorrhoe dan streptococcus yang menyebabkan teinfeksinya selaput amnion sehingga memudahkan selaput tersebut untuk pacah secara dini. Chorioamnionitis merupakan infeksi selaput ketuban yang juga akan merusak selaput amnion sehinga bisa pula pecah. Penyebab selanjutnya adalah peningkatan tekana intracterine seperti pada kehamilan kembar dan polihidromnion, menyebabkan terjadinya intrumnion meningkat akhirnya selaput amnion pecah. Trauma pada amniosintesis menyebabkan cairan ketuban bisa pecah. demikian juga halnya dengan hipermotilitas uterus dimana kontraksi otot uterus rahim menjadi meningkat yang menekan selaput amnion.
Semua hal diatas dapat menyebabkan ketuban pecah dini. Pada ibu dengan ketuban pecah dini tetapi his (‑) sehinga pembukaan akan terganggu dan terhambat sementara janin mudah kekeringan karena pecahnya selaput amnion tersebut, maka Janin harus segera untuk dilahirkan atau pengakhiran kehamilan harus segera dilakukan. Tindakan yang dilakukan adalah menginduksi dengan oksitosin, jika gagal lakukan persalinan dengan caecar.
Akibat ketuban pecah dini pada janin yang preterm yaitu melahirkan janin yang premature dimana paru janin belumlah matur, akibatnya produksi surfaktan berkurang, paru tidak mengembang sehingga beresiko terhadap RDS ( Rapirasi distiess syndrome ). Ditandai dengan apgar score yang abnormal, aspixia, dan tachipnoe yang menyebabkan kerusakan pertukaran gas pada janin.
Pada ibu dengan ketuban pecah dini dan hisnya adal (+) persalinan dapat segera dilakukan. Apabila adanya pemeriksaan dalam yang terlalu sering dapat beresiko terhadap infeksi. Ketuban yang telah pecah dapat menyebabkan persalinan menjadi terganggu karena tidak ada untuk pelicin Jalan lahir. Sehingga persalinan menjadi kering ( dry labor). Akibatnya terjadi persalinan yang lama.
Akibat persalinan yang lama terjadi pula penekanan yang lama pada janin dijalan lahir, dan jika terjadi fetal distress mengakibatkan untuk melakukan persalinan atau ekstraksi vacum dan cuna, atau terjadi asphyxia akibat penekanan yang lama pada jalan lahir inipun mengakibatkan iskhcmia pada jalan lahir dan akhirnya terjadi nekrosis jaringan. Hal ini beresiko terhadap cidera pada ibu dan janin, dan juga beresiko tinggi terhadap infeksi

2.4   Manifestasi Klinik
1.  keluar ketuban warna putih, keruh, jernih, kuning, hijau / kecoklatan sedikit / banyak
2. dapat di sertai demam bila sudah ada infeksi
3.  janin mudah teraba
4.  pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada , air ketuban sudah kering
5.  inspeksikula, tampak air ketuban mengalir / selaput ketuban tidak ada dan air ketuban ketuban sudah kering ( Arief Mansjoer, dkk,2001 : 310 )
2.5 Pemeriksaan Klinis
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :
1)  Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok.(1,3,9,15) Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna, keluarnya cairan tersebut his belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2)  Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas.
3)  Pemeriksaan dengan spekulum.
pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior.
4)  Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
2.5.1 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
·         Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7   7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahasilkan tes yang positif palsu.
·         Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
2) Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidromnion. Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sederhana.
2.6 Komplikasi
1) Tali pusat menumbung
2) Prematuritas, persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm.
3) Oligohidramnion, bahkan sering partus kering (dry labor) karena air ketuban habis.
4) Infeksi maternal : infeksi intra partum (korioamnionitis) ascendens dari vagina ke intrauterine, korioamnionitis (demam >380C, takikardi, leukositosis, nyeri uterus, cairan vagina berbau busuk atau bernanah, DJJ meningkat), endometritis
5) Penekanan tali pusat (prolapsus) : gawat janin kematian janin akibat hipoksia (sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang), trauma pada waktu lahir dan Premature.
6) Komplikasi infeksi intrapartum
a. Komplikasi ibu : endometritis, penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia), sepsis CEPAT (karena daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat banyak), dapat terjadi syok septik sampai kematian ibu.
b.  Komplikasi janin : asfiksia janin, sepsis perinatal sampai kematian janin.
2.7 Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya.
Penatalaksanaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama masih beberapa masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin.
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya periode laten.

1) Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)
Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya.
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.

2) Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)
Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi
Penderita perlu dirawat di rumah sakit ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga tujuan menunda proses persalinan.
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada pnderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi.
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedah sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tindakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauteri tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll.
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan pengolahan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterine.
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari, pem,eriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.






BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas ibu
2. Riwayat penyakit
a. Riwayat kesehatan sekarang : ibu datang dengan pecahnya ketuban sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu dengan atau tanpa komplikasi
b. Riwayat kesehatan terdahulu
-   Adanya trauma sebelumnya akibat efek pemeriksaan amnion.
-   Sintesis, pemeriksaan pelvis, dan hubungan seksual
·         -  Kehamilan ganda, polihidramnion
-          Infeksi vagina/serviks oleh kuman streptokokus.
-          Selaput amnion yang lemah/tipis.
-          Posisi fetus tidak normal.
-          Kelainan pada otot serviks atau genital seperti panjang serviks yang pendek.
-     Multiparitas dan peningkatan usia ibu serta defisiensi nutrisi.
c. Riwayat kesehatan keluarga : ada tidaknya keluhan ibu yang lain yang pernah hamil kembar/turunan kembar.
3. Pemeriksaan fisik
a. Kepala dan leher.
-     Mata perlu diperiksa dibagian sclera, konjungtiva.
-  Hidung : ada/tidaknya pembengkakan konka nasalis. Ada/tidaknya hipersekresi mukosa
-     Mulut : gigi karies/tidak, mukosa mulut kering, dan warna mukosa gigi.
-     Leher berupa pemeriksaan JVP, KGB, dan tiroid.
b. Dada
Thorak
-          Inspeksi kesimetrisan dada, jenis pernafasan thorak abdominal, dan tidak ada retraksi dinding dada. Frekuensi pernafasan normal 16-24 x/menit. Iktus kordis terlihat/tidak
-          Palpasi : payudara tidak ada pembengkakan.
-          Auskultasi : terdengar BJ I dan II di IC kiri/kanan. Bunyi nafas norma vesikuler
Abdomen
-          Inspeksi : ada/tidaknya bekas operasi, striae, linea.
-          Palpasi : TFU, kontraksi ada/tidak, posisi, kandung kemih penuh/tidak.
-     Auskultasi : DJJ ada/tidak
c. Genitalia
-    Inspeksi: keberhasilan, ada/tidaknya tanda-tanda REEDA (Red, Edema, Discharge, Approximately), pengeluaran dari ketuban (jumlah, warna, bau), dan lender merah muda kecoklatan.
-      Palpasi: pembukaan serviks (0-4).
-      Ekstremitas: edema, varises ada/tidak.
4.   Pemeriksaan Diagnostik
a.   Hitung darah lengkap untuk menentukan adanya anemia, infeksi.
b.   Golongan darah dan factor Rh.
c.   Rasio lesitin terhadap spingomielin (rasio US): menentukan maturitas janin.
d.   Tes verning dan kertas nitrazine: memastikan pecah ketuban.
e.   Ultasonografi: menentukan usia gestasi, ukuran janin, gerakan jantung janin, dan lokasi plasenta.
f.   Pelvimetri: identifikasi posisi janin
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi maternal berhubungan dengan prosedur invasif, pemeriksaan vagina berulang, dan rupture membrane amniotic.
2.  Kerusakan pertukaran gas pada janin berhubungan dengan adanya penyakit.
3.  Gangguan rasa nyaman b.d nyeri, peningkatan HIS
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada diri sendiri/janin.
5. Nyeri berhubungan dengan terjadi nya ketegangan otot rahim
6. Intoleransi aktifitas b.d. hipersensitifitas otot.
(Dangoes:2000)










3.3 Intervensi
No
Diagnosa keperawatan
Tujuan dan kriteria hasil
Inervensi
Rasional
1
Resiko tinggi infeksi maternal berhubungan dengan prosedur invasif, pemeriksaan vagina berulang, dan rupture membrane amniotic.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan infeksi maternal tidak terjadi
Kriteria hasil : Ibu menyatakan/menunjukan bebas dari tanda-tanda infeksi.
-  Lakukan pemeriksaan vaginal awal, ulangi bila pola kontraksi atau perilaku ibu menandakan kemajuan.
- Pantau suhu, nadi, pernapasan, dan sel darah putih sesuai indikasi.


-  Berikan antibiotic profilaktik bila dindikasikan.

-  Pengulangan pemeriksaan vagina berperan dalam insiden infeksi saluran asendens.




- Dalam 4 jam setelah membrane rupture, insiden korioamnionitis meningkat secara progresif sesuai dengan waktu yang ditunjukkan melalui TTV.

Antibiotic dapat melindungi perkembangan korioamnionitis pada ibu beresiko.
2







 






























3














4































5.









 














Kerusakan pertukaran gas pada janin berhubungan dengan adanya penyakit.


































Gangguan rasa nyaman b.d nyeri, peningkatan HIS












Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada diri sendiri/janin.


























Nyeri berhubungan dengan terjadi nya ketegangan otot rahim
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan pertukaran gas pada janin kembali normal.
Kriteria hasil:
a.    - Klien menunjukkan DJJ dan variabilitas denyut per denyut dalam batas normal.
b.   -  Bebas dari efek-efek merugikan dan hipoksi selama persalinan.











Tujuan :
Klien merasa nyaman
Kriteria hasil :
-klien tampak tenang
-klien tampak nyaman



Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kecemasan klien berkurang
Kriteria Hasil ;
Pasien diharapkan:
a.   - Menggunakan teknik pernapasan dan relaksasi yang efektif.
b.   - Berpartisipasi aktif dalam proses persalinan




tujuan :
rasa nyeri berkurang
kriteria hasil :
-klien tampak tenang
-klien tampak nyaman

-  Pantau DJJ setiap 15-30 menit.


Periksa DJJ dengan segera bila terjadi pecah ketuban dan periksa 15 menit kemudian, observasi perineum ibu untuk mendeteksi prolaps tali pusat.
- Catat perubahan DJJ selama kontraksi. Pantau aktivitas uterus secara manual atau elektronik. Bicara pada ibu atau pasangan dan berikan informasi tentang situasi tersebut. 
 - Siapkan untuk melahirkan dengan cara yang paling baik atau dengan intervensi bedah bila tidak terjadi perbaikan.

- monitor tanda – tanda vital : TD, pernafasan, nadi dan suhu
- ajrakan klien teknik relaksasi
-  atur posisi klien
-  berikan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung
- Berikan perawatan primer atau dukungan profesional intrapartum continue sesuai indikasi.
-orientasikan klien pada lingkungan dan prosedur ,berikan informasi tentang perubahan psikologis dan fisiologis pada persalinan sesuai kebutuhan
-kaji tingkat dan penyebab ansietas, kesiapan untuk melahirkan anak


-pantau tekanan darah dan nadi sesuai indikasi, bila tekanan darah tinggi pada penerimaan,ulang prosedur selama 30 menit
- Monitor tanda-tanda vital : TD, Pernafasan, nadi, dan suhu.

- Ajarkan klien teknik relaksasi

-atur posisi klien

- Awasi respon emosional klien terhadap proses nyeri

- ajarkan teknik pengurangan nyeri dengan teknik distraksi
Takikardi atau bradikardi janin adalah indikasi dari kemungkinan penurunan yang mungkin perlu intervensi.
 Mendeteksi distress janin karena kolaps alveoli.










- Mendeteksi beratnya hipoksia dan kemungkinan penyebab janin rentan terhadap potensi cedera selama persalinan karena menurunnya kadar oksigen 








Dengan penurunan viabilitas mungkin memerlukan kelahiran seksio caesarea untuk mencegah cedera janin dan kematian karena hipoksia.



- nyeri dapat mengakibatkan peningkatan frekuensi pernafasan dan nadi
-  untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan klien
-  untuk memberikan kenyamanan pada klien
-   agar klien dapat beristirahat




-Kontinuitas perawatan dan pengkajian dapat menurunkan stres



-pendidikan dapat menurunkan stres, ansietas dan meningkatkan kemajuan persalinan







-ansietas memperberat persepsi nyeri,mempengaruhi penggunaan teknik koping dan menstimulasi aldostreron, yang dapat meningkatkan resopsi matrium dan air
- stres mengaktifkan sistem edrenokortikal hipofis-hipotaltik dan meningkatkan retensi dan resorbsi matrium dan air dan meningkatkan ekskresi kalium
- nyeri dapat mengakibatkan peningkatan frekuensi pernafasan dan nadi

-untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan klien
-untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan klien
-keadaan emosional mempunyai dampak pada kemampuan klien untuk menangani nyeri
-teknik distraksi merupakan teknik pengalihan perhatian sehingga mengurangi emosional dan kognitif.














10 komentar: